Pendidik adalah prototipe dalam pandangan anak. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan anak pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik juga, baik disadari maupun tidak. Bahkan, keteladanan itu akan terpatri dalam jiwanya. Perasaannya akan membayangkan ucapan, perbuatan, perasaan, dan mental orang tuanya.
Jadi keteladanan merupakan faktor yang penting dalam membentuk kebaikan atau keburukan anak. Juru pendidik jujur, amanah, berakhlak baik, pemurah, pemberani, dan menjaga kesucian diri, si anak akan tumbuh menjadi orang yang jujur, amanah, berakhlak mulia, pemurah, pemberani, dan menjaga kesucian diri. Akan tetapi, jika pendidik pendusta, khianat, kikir, dan pengecut, si anak pun akan tumbuh menjadi pendusta, pengkhianat, penakut, dan kikir.
Saya ingin menceritakan sebuah peristiwa yang disampaikan oleh Ustadz Mahmud Mahir Zaidan dalam bukunya,
Ats Tsawab wal 'Iqab fit Tarbiyah (Imbalan dan Hukuman dalam Pendidikan), halaman 17. Silahkan Anda simpulkan sendiri seberapa besar peran keteladanan.
"Suatu kali, saya pernah diundang untuk menghadiri sebuah pesta sederhana di ruang kelas V SD. Dalam acara itu, anak-anak meminta salah seorang teman mereka untuk menirukan guru pelajaran bahasa Inggris. Ia lalu keluar dari kelas dan menutup pintunya. Sejenak, ia menghilang. Tiba-tiba, ia masuk bagaikan angin topan, menendang pintu sekeras-kerasnya. Dengan mata tajam yang menyorot ke 'murid-muridnya' dan dengan wajah yang garang, ia mengatakan, '
Good morning, Dogs!'"
"Sebelum hadirin mengakhiri keterhenyakannya oleh demonstrasi itu, anak itu mengatakan bahwa ia akan menirukan guru matematika. Ia kemudian melontarkan pertanyaan kepada salah seorang temannya yang kemudian menjawab dengan ragu-ragu. Kemudian, pertanyaan yang sama ditujukan kepada temannya yang lain dan menjawab dengan benar. Maka 'si guru' itu menyuruh murid yang jawabannya benar untuk menampar temannya yang jawabannya tidak tepat itu. Keterhenyakan pun semakin menjadi-jadi."
"Tiba-tiba saja, salah seorang guru mengajak kami menyantap makanan dan minuman yang tersedia di hadapan kami. Saya pun jadi mengerti bahwa ia ingin menegah kami agar tidak menikmati lebih jauh 'peristiwa' yang terjadi di hadapan saya."
"Saya keluar menyeret langkah dengan hati yang pedih. Dalam benak saya berkecamuk puluhan tanda tanya dan kegalauan. Begitukah hubungan antara guru dan murid? Kemudian, perilaku dan nilai macam apa yang harus kita tanamkan dalam jiwa-jiwa yang tengah meniti perjalanan awal kehidupan itu?"
Jadi, sekali saja contoh yang buruk; sekali saja murid mendengar gurunya mengucapkan kata-kata kotor dan menghina; sekali saja anak mendengar ibunya berdusta kepada ayahnya, atau sebaliknya, atau salah satunya berdusta kepada tetangganya, cukup untuk menumbangkan nilai kejujuran dalam jiwa mereka. Sekali saja, seorang anak mendengar ayahnya memerintah dirinya untuk menjawab telepon dengan mengatakan bahwa ia tidak ada, padahal ada; atau ibunya meminta saudara perempuannya untuk mengatakan hal serupa, maka ia tidak mungkin lagi belajar tentang kejujuran. Sekali saja ia melihat ibunya berperilaku rendah, ia tidak akan dapat belajar akhlak mulia. Sekali saja ayahnya kasar kepadanya, ia tidak akan belajar berkasih sayang dan bekerja sama.
Betapapun besar potensi untuk menerima kebaikan dan betapaun fitrahnya lurus dan suci, anak tidak akan merespons prinsip-prinsip kebaikan dan dasar-dasar pendidikan yang baik selama ia tidak melihat pendidiknya berakhlak mulia dan menjadi sosok ideal. Sangat mudah bagi seorang pendidik mengarang buku atau mendiktekan metode pendidikan. Akan tetapi, akan menjadi sulit bagi sang anak untuk menerima sistem pendidikan manapun jika ia melihat guru atau orang yang menjadi pembimbingnya tidak mempraktikkan segala sesuatu yang diajarkan oleh metodologi itu.