Media massa menjadikan pornografi sebagai tambang uang.
Koran-koran, majalah, televisi, dan internet. Para artis merupakan komoditas
yang terus-menerus menjadi dagangan media untuk menangguk untung tanpa rasa
tanggung jawab atas akibat dari apa yang mereka sebarkan. Industri penerbitan,
penyiaran dengan industri per-filman dan hiburan merupakan dua sejoli secara mutualistik menjadi agen dekadensi
moral.
Kejahatan media sekuler-liberal tidak berhenti sampai disitu.
Tersebarnya informasi sebagai akibat kerja media melahirkan berbagai
penyimpangan moral, tindak kriminal, pelanggaran susila, perselingkuhan, dll.
Media cetak maupun layar kaca, siang dan malam berlomba adu
kreasi menciptakan program-program baru yang mengeksploitasi pornografi,
menayangkan para artis dengan keseronokannya maupun bicaranya yang semakin
berani, sekali lagi mengatasnamakan kebebasan.
Keprihatinan para tokoh terhadap dekadensi moral dianggap
oleh kaum sekuler-liberal sebagai sikap konservatif, kolot. Kitapun telah
menyaksikan bahwa upaya untuk melindungi masa depan generasi muda dari
kerusakan moral dengan usulan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi
mereka lawan dengan manuver, atas nama
kebebasan dan pelanggaran hak asasi, tidak member ruang hidup kebudayaan dan
kreasi seni dll.
Anehnya, media selalu mencela, menyalahkan dan mentertawakan
para pelaku tindak kriminal maupun pelanggaran moral. Padahal tindakan itu
sejatinya kontradiktif-paradoks dengan tindakannya sendiri. Lempar batu
sembunyi tangan. Bukankah mayoritas tindakan kriminal dan pelanggaran moral
berhulu dari mengkonsumsi asupan
informasi media massa yang begitu bebas, gambling dan detail baik dengan
tayangan gambar maupun narasi cerita suatu perbuatan kriminal dan tindakan asusila?
Gambaran kejahatan criminal, pemerkosaan, pembunuhan, atau
pelanggaran moral yang lain yang dipaparkan detail oleh media massa disimpan
dalam file di otak para pengkonsumsi berita. Selipan gambar-gambar merangsang
melekat dibenak para pengkonsumsinya. Gambar-gambar cerita narasi dan reportasi
kejadian tersebut terus terakumulasi menjadi keinginan kuat untuk menyalurkan
hasrat. Bagi mereka yang mempunyai pasangan sah persoalannya dapat diatasi
secara aman dan halal.
Yang menjadi masalah, mereka yang tidak mempunyai tempat
penyaluran secara benar, sementara mereka juga tidak terdidik dengan benteng
agama dan moral yang kuat, karena paham sekuler-liberal telah merobohkan
bangunan tersebut, maka kemungkinan penyaluran mereka hanya ada di dua cara
yang haram yaitu (maaf) melacur atau memperkosa. Bagi yang mempunyai uang dia
akan melacur, yang tidak memiliki uang akan mencari dengan cara salah, atau
alternatif lain yang sama-sama buruk memperkosa.
Sedihnya, biasanya yang menjadi korban tindak kriminal
seperti tersebut di atas tidak pilih-pilih. Artinya, kadang orang baik-baik
yang tidak menjadi bagian dari rantai kerusakan tersebut tetapi berada dalam
posisi lemah menjadi korban. Jika sudah begitu, media massa akan menjadi yang
terdepan menjelek-jelekkan pelaku kejahatan atau pelanggaran moral tersebut.
Seolah-olah melebihi penyidik, bahkan jaksa atau bertindak seperti hakim. Media
lupa bahwa pelaku kejahatan melakukan tindakannya karena asupan informasi yang
secara akumulatif mereka konsumsi. Dan itu merupakan produk dari media massa.
Jadi sejatinya, sekalipun sering tampil bak pahlawan, media massa termasuk mata
rantai kerusakan dan dekadensi moral itu sendiri.
Hendaknya seorang muslim yang bekerja di dunia media waspada
agar diri dan institusinya tidak menjadi bagian mata rantai kerusakan ini.